

Setelah bertemu dengan rasul-rasul yang mulia, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan agungnya menuju perjumpaan dengan penguasa alam semesta, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu kondisi perjalanan ini sulit terbayang di akal manusia. Bayangkan! Bagaimana degup jantung seseorang kala hendak berjumpa kepala negara atau seorang raja? Apalagi berjumpa dengan raja diraja, penguasa alam semesta, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Renungkan sejenak, bagaimana kiranya keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Jibril mengabarkan tiba saatnya menghadap Rabbul ‘Izzati wal Jalal?
Lalu dalam pertemuan ini, apakah Rasulullah melihat Allah Ta’ala? Mari kita baca paparan berikut ini.
Allah berfirman dalam Surat Al-Qiyamah · Ayat 22-23:
وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ٢٢اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌۚ ٢٣
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena) memandang Tuhannya.”
Ayat ini menerangkan sebagian hal ihwal manusia pada hari kebangkitan saat wajah-wajah orang beriman pada waktu itu berseri-seri. Golongan yang gembira dan berwajah ceria inilah calon penghuni surga. Merekalah yang berwajah cerah yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya. Di mana pun mereka dapat melihat-Nya. Artinya mereka langsung memandang kepada Allah tanpa dinding pembatas (hijab).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa kita akan bisa melihat Dzat Allah di akhirat. Namun, saat Nabi Muhammad SAW melakukan Isra Miraj, beliau masih berada di dunia. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah mungkin melihat Dzat Allah sementara masih di dunia?
Menurut sayyidah Aisyah yang tertera di dalam kitab Sahih Muslim mengatakan:
قال مسروق قلت لعائشة هل رأى محمد صلى الله عليه وسلم ربه؟ فقالت له: سبحان الله، لقد اقشعر جلدي، واهتز شعري مما قلت، أين أنت من ثلاث، من حدث بهن فقد كذب، من حدث أن محمدا صلى الله عليه وسلم رأى ربه فقد كذب، لأن الله يقول: {لا تدركه الأبصار} [الأنعام: ١٠٣] أي لا يراه ولا يحيط به أحد من خلقه، ويقول: {وما كان لبشر أن يكلمه الله إلا وحيا أو من وراء حجاب أو يرسل رسولا فيوحي بإذنه ما يشاء} [الشورى: ٥١] أي لا يكلم الله بشرا من خلقه إلا على حالة من هذه الحالات فكيف يراه محمد صلى الله عليه وسلم
Dari Masruq, saya bertanya kepada Aisyah, “Apakah Nabi Muhammad SAW. Pernah melihat Tuhan?” Dia menjawab, “Subhanallah, aku merasa merinding dan mendengar pertanyaan itu. Kamu harus tahu tiga hal ini: Siapa yang mengatakan bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhan, dia telah berdusta. Allah berfirman, ‘Tidak ada yang bisa melihat-Nya’ [Al-An’am: 103], yaitu tidak ada makhluk yang bisa melihat Allah. Dan Allah juga berfirman, ‘Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak bicara oleh Allah kecuali melalui wahyu atau di balik tabir, atau Allah mengutus seorang rasul dan memberi wahyu kepadanya’ [Asy-Syura: 51]. Jadi, bagaimana mungkin Muhammad ﷺ bisa melihat-Nya?”
Menurut sayyidah Aisyah Nabi Muhammad SAW, tidak bisa melihat allah, dengan dalil yang di utarakannya yaitu surat Al-An’am ayat 103. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra Mi’raj melihat Allah SWT atau tidak? Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu meninjau sejarah peristiwa yang terjadi pada Nabi Musa AS di Gunung Tursina. Peristiwa tersebut sangat relevan dan dapat memberikan gambaran yang lebih mendalam mengenai melihat dzat Allah.
Allah berfirman di dalam Surah Al-A’raf, ayat 143
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ
فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِق فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”ya Rabbku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Rabb berfirman:’’Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa Pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata.’’Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”. [Al A’raf/7 :143]
Wajhu Dilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini.
- Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani”(Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) lafad (لن) itu berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain.
- Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata:” Maha Suci Engkau”.Ar-Razi berkata:’’Musa bertasbih untuk mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.”
- Firman Allah Azza wa Jalla, “Dan Musapun jatuh pingsan”Sungguh, pengalaman itu seolah terikat erat dengan gunung. Setiap perkara yang mungkin saja terjadi, dalam konteks ini, bisa jadi Musa benar-benar melihat Dzat Allah.
- perkataan Musa yang menyatakan, “Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman,” mengindikasikan bahwa permintaan untuk melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebagai suatu hal yang kurang tepat. Hal ini menunjukkan bahwa Musa merasa perlu untuk mengakui dan meminta ampun atas permintaannya tersebut. Dalam konteks ini, tobat yang diungkapkan oleh Musa bukanlah karena kesalahan besar, tetapi lebih kepada kesadaran akan kekurangan dalam permohonan tersebut dan mengakui kebesaran Allah.
Mengenai lafadz “لن” dalam bahasa Arab adalah partikel yang digunakan untuk menyatakan penafian atau ketidakmungkinan. Namun, para ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai arti dan dampak dari penggunaan lafaz ini. Perbedaan pendapat ini muncul terutama dalam konteks teologi dan pemahaman ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk memahami lafaz-lafaz dalam bahasa Arab, dan penting bagi kita untuk menggali lebih dalam agar dapat memahami maknanya dengan baik.
Tanggapan terhadap lafadz (لن) yang berarti menafikan secara selama-lamanya menurut Syekh Abu al-Qasim Mahmoud bin Umar al-Zamakhshari di dalam kitabnya Kashaf ‘an Haqaiq Ghamidi al-Tanzi mengatakan:
فإن قلت: ما معنى لَنْ؟ قلت: تأكيد النفي الذي تعطيه (لا)
“Jika Anda bertanya: Apa makna لَن) ((lan)? Saya jawab: Itu adalah penegasan dari penolakan yang diberikan oleh ‘لا‘ (la).”
Lafadz لَنْ menurut Syekh Zamakhsyari memiliki arti sebagai penegasan yang menolak suatu kemungkinan di masa depan. Ia menjelaskan bahwa لَنْ digunakan untuk menegaskan bahwa sesuatu tidak akan terjadi, dengan penekanan yang lebih kuat dibandingkan dengan kata لا, sehingga menunjukkan kepastian bahwa tindakan atau peristiwa tersebut tidak akan terjadi.
Menurut pandangan Abdul Rahman bin Nasir as-Sa’di di dalam kitabnya, Al-Kifayah fi at-Tafsir bil-Ma’thur wal-Diraayah, yang berbeda pendapat dengan Syekh Zamakhsyari mengatakan:
فثبت أن ” لن ” لا تقتضي النفي المؤبد
قال الشيخ جمال الدين بن مالك رحمه الله تعالى:
ومن رأى النفي بلن مؤبدا … فقوله اردد وسواه فاعضدا
“Telah terbukti bahwa ‘لن‘ tidak mengandung makna penafian yang abadi. Sheikh Jamaluddin bin Malik rahimahullah berkata: ‘Siapa pun yang menganggap bahwa penafian dengan ‘لن‘ bersifat abadi, maka ucapannya itu perlu ditolak, dan pendapat lainnya perlu diperkuat.”
Menurut Syekh Abu al-Qasim Mahmoud bin Umar al-Zamakhshari, لَنْ memberikan kepastian bahwa sesuatu tidak akan terjadi, sehingga menekankan ketidakmungkinan suatu peristiwa di masa depan. Namun, Abdul Rahman bin Nasir as-Sa’di dan Sheikh Jamaluddin bin Malik memberikan pandangan bahwa لَنْ tidak mengandung makna penafian yang abadi. Mereka menegaskan bahwa anggapan لَنْ menunjukkan penafian yang bersifat permanen perlu ditolak, dan pendapat lain yang lebih tepat harus diperkuat. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa lafadz لَنْ (lan) dalam konteks ini menegaskan ketidakmungkinan melihat Dzat Allah dalam situasi tertentu, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melihat Dzatnya.
Merupakan suatu yang muhal (mustahil) bagi Nabi apabila ia tidak tahu tentang sesuatu yang jaiz atau tidak bagi Allah. Oleh karena itu, permintaan Nabi Musa (melihat) kepada Allah adalah termasuk sesuatu yang jaiz bagi Allah dan bukan hal yang mustahil. Akan tetapi, permintaan Nabi Musa tersebut merupakan suatu permintaan yang gaib dan tiada yang mampu mengetahuinya melainkan bagi orang yang benar-benar telah diberi pengetahuan oleh-Nya. Maka Allah pun berkata kepada Nabi Musa (لن تراني) bahwa kamu tidak akan mampu (kuat) melihat-Ku. Lalu Allah mencontohkan sebuah gunung yang lebih kuat daripada Nabi Musa (dan gunung tersebut pun hancur).
Dengan peristiwa tersebut, dapat dipahami bahwa Nabi Musa mungkin melihat dzat Allah di dunia, begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Namun, apakah mungkin Nabi Muhammad SAW benar-benar melihat dzat Allah?
Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya “Syarah Nawawi ‘ala Muslim,” beliau menyatakan:
وعن عكرمة سئل ابن عَبَّاسٍ رضي الله عنهما هَلْ رَأَى مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم رَبَّهُ قَالَ نَعَمْ وَقَدْ رُوِيَ بِإِسْنَادٍ لَا بَأْسَ بِه
“Dari ‘Ikrimah, ditanyakan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ‘Apakah Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya? Ia menjawab, ‘Ya, dan telah diriwayatkan dengan sanad yang tidak ada masalah di dalamnya.”
Peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang menyaksikan Dzat Allah perlu ditekankan bahwa penglihatan tersebut tidak dijelaskan dengan rinci mengenai bagaimana cara atau bentuknya, dan juga tanpa batasan tertentu. Yang pasti, keyakinan terhadapnya adalah suatu kebenaran yang tak terbantahkan. Mengenai apakah Nabi Muhammad SAW melihat Dzat Allah dengan kedua matanya yang tampak atau dengan mata hatinya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama:
Menurut sejumlah mufassir (ahli tafsir) yang mengatakan Nabi muhammad saw melihat dzat Allah dengan hatinya saja bukan dengan kedua matanya
وَذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ إِلَى أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُ رَأَى رَبَّهُ سُبْحَانَهُ وَتعَالَى ثُمَّ اخْلَفَ هَؤُلَاءِ فَذَهَبَ جَمَاعَةٌ إِلَى أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِفُؤَادِهِ دُونَ عَينيْهِ
Pernyataan tersebut merujuk pada perdebatan di kalangan mufassirin (para penafsir Al-Qur’an) tentang apakah Nabi Muhammad saw. benar-benar melihat Allah SWT dalam perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Menurut mayoritas mufassirin, ada pandangan bahwa Nabi Muhammad saw. Melihat Allah, tetapi pendapat ini berbeda-beda. Salah satu pendapat yang dikemukakan adalah bahwa Nabi Muhammad saw. melihat Allah SWT dengan hatinya (bifuadi) dan bukan dengan kedua matanya (ain).
Pendapat kedua:
Menurut sejumlah mufassir (ahli tafsir) yang lain pun mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw melihat dzat Allah dengan kedua matanya.
وَقَدْ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ إِلَى أَنَّهُ رَآهُ بِعَيْنِهِ
“Menurut sejumlah mufassir (ahli tafsir) yang lain berpendapat bahwa ia (Nabi Muhammad) melihatnya dengan mata kepalanya.”
Di antara dua pendapat tersebut, mana yang lebih kuat? Mari kita telusuri dan analisis argumen untuk menentukan pendapat yang lebih meyakinkan. Di antara yang berpendapat tentang hal ini adalah Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim-nya, setelah ia memaparkan penjelasan Al-Qadli ‘Iyadh tentang ru’yah, bahwa pendapat yang kuat menurut mayoritas ulama, ia berkata;
فَالْحَاصِلُ أَنَّ الرَّاجِحَ عِنْدَ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ إن رسول الله صلى الله عليه وسلم رَأَى رَبَّهُ بِعَيْنَيْ رَأْسِهِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ لِحَدِيثِ بن عَبَّاسٍ وَغَيْرِهِ مِمَّا تقَدَّمَ وَإِثبَاتُ هَذَا لَا يَأْخُذُونَهُ إِلَّا بِالسَّمَاعِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya, “Alhasil, (pendapat) yang unggul menurut mayoritas ulama, bahwa Rasulullah saw melihat Tuhannya dengan kedua mata kepalanya pada malam Isra, Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan lainnya yang telah disebutkan. Dan pembuktian ini tidak mereka terima kecuali melalui pendengaran dari Rasulullah SAW.”
Pendapat Imam Nawawi, Nabi Muhammad Saw isra mi’raj melihat dzat Allah dengan kedua matanya dikuatkan oleh Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab syarah Nurudzolam
والرؤية بالعين في الدنيا يقظة مخصوصة به صلى الله عليه وسلم، ولم تقع لغيره، وإن جازت لغيره أيضاً عقلاً لأن الله تعالى موجود، وكل موجود يصح أن يُرَى،
“Melihat dengan mata secara langsung di dunia dalam keadaan sadar adalah yang di khususukan yang di dimiliki oleh Rasulullah Saw. Hal ini tidak terjadi pada orang lain, meskipun secara akal memang mungkin bisa bagi orang lain. Sesungguhnya Allah adalah dzat yang maujud dan setiap yang maujud sah untuk dilihat, maka Allah sah untuk dilihat ”
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Syekh Ibrahim Al-laqqoni dalam nadzom Jauharatu Al-Tauhid
ومِنْهُ اَنْ يُنظَرَ بِاْلاَبْصار # لَكِنْ بِلَا كَيْفٍ ولا انْحِصار
للمؤمنين اِذْ بجائزْ علّقت # هذا ولِلمُخْتار دُنْيًا ثبتَتْ
Termasuk jaiz aqli adalah melihat Allah melalui mata kepala bagi orang mukmin, akan tetapi hal itu tanpa kaifiyah dan tanpa batas. Hal ini (melihat Allah di dunia) berlaku bagi orang terpilih (Rasulullah).
قوله: (ومنه أن ينظر …) إلخ أي: ومن الجائز عقلا عليه تعالى أن ينظر … إلخ، فالرؤية جائزة عقلا دنيا وأخرى، لأن الباري سبحانه تعالى موجود، وكل موجود يصح أن يرى، فالباري عز وجل يصح أن يرى، لكن لم تقع دنيا لغير نبينا صلى الله عليه وسلم وواجبة شرعا في الآخرة كما أطبق عليه أهل السنة للكتاب والسنة والإجماع.
Mengenai nadzam di atas, Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan bahwa melihat Allah baik di dunia maupun di akhirat termasuk sesuatu yang jaiz aqli , karena Allah adalah dzat yang maujud dan setiap yang maujud sah untuk dilihat, maka Allah sah untuk dilihat. Namun di dunia hanya berlaku bagi Rasulullah SAW saja. (Al-Bajuri, tt: 71). Selanjutnya mengenai khususiyah Rasulullah melihat Allah dengan kedua mata, dalam hal ini terdapat perbedaan di kalangan para ulama:
Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan yang sangat istimewa, yaitu kedudukan sebagai “yang melihat” Dzat Allah. Keistimewaan ini mencerminkan betapa tinggi dan mulianya posisi beliau di hadapan Allah. Dalam konteks ini, mari kita perhatikan hadis yang diriwayatkan oleh Ikrimah dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, yang tertera di dalam kitab “Syarh Shahih Bukhari al-Ashbahani”
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابن عَبَّاسٍ قَالَ: (إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى إِبْرَاهِيمَ بِالخُلَةَّ، وَاصْطَفَى مُوسَى بِالكَلَامِ، وَاصْطَفَى مُحَمَّدًا ﷺ بِالرُّؤْيَة(
“Dari Ikrimah dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih Ibrahim dengan (kedudukan sebagai) kekasih-Nya, dan memilih Musa dengan (kedudukan sebagai) pembicara-Nya, serta memilih Muhammad SAW dengan (kedudukan) sebagai yang melihat (langsung kepada Allah)’.”
Kesimpulan dari pembahasan mengenai peristiwa Isra dan Mi’raj serta kemungkinan Nabi Muhammad SAW melihat Dzat Allah dapat dirangkum sebagai berikut:
- Pandangan Aisyah dan Al-Qur’an: Sayyidah Aisyah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak melihat Allah, merujuk pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa tidak ada makhluk yang dapat melihat Allah. Ini menunjukkan bahwa melihat Allah adalah sesuatu yang sangat agung dan tidak dapat dicapai oleh siapapun, kecuali dalam konteks tertentu.
- Perbandingan dengan Nabi Musa: Kisah Nabi Musa AS yang meminta untuk melihat Allah di Gunung Tursina memberikan gambaran bahwa meskipun permintaan tersebut adalah sesuatu yang mungkin, Allah menegaskan bahwa tidak ada makhluk yang mampu melihat-Nya. Ini menunjukkan bahwa melihat Allah adalah hal yang sangat khusus dan tidak dapat dilakukan sembarangan.
- Pendapat Ulama: Terdapat dua pandangan utama di kalangan ulama mengenai apakah Nabi Muhammad SAW melihat Allah. Sebagian berpendapat bahwa beliau melihat Allah dengan mata hatinya, sementara yang lain berpendapat bahwa beliau melihat Allah dengan kedua matanya. Pendapat yang lebih kuat di kalangan mayoritas ulama adalah bahwa Nabi Muhammad SAW melihat Allah dengan kedua matanya, yang merupakan keistimewaan yang diberikan kepada beliau, namun, pengalaman ini tidak dapat digambarkan dengan jelas, baik dari segi bentuk maupun cara, karena melampaui batasan logika dan pemahaman kita, menegaskan keagungan dan kemahakuasaan Allah.
- Keistimewaan Nabi Muhammad SAW: Melihat Allah adalah suatu hal yang mungkin secara akal, namun dalam konteks syariat, pengalaman ini hanya diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini mencerminkan kedudukan beliau yang sangat tinggi di sisi Allah dan menunjukkan betapa dekatnya hubungan beliau dengan Sang Pencipta.
Dengan demikian, peristiwa Isra dan Mi’raj bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga merupakan pengalaman spiritual yang mendalam yang menegaskan keagungan dan kemahakuasaan Allah, serta kedudukan istimewa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Hal ini mengajak kita untuk merenungkan dan memperdalam iman kita kepada Allah, serta menyadari bahwa kehadiran-Nya dapat dirasakan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya dalam ciptaan dan kehidupan sehari-hari kita.
قال الشيباني في قصيدته من بحر الطويل
Imam Syaibani telah menambahkan dalam qasidahnya yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW, dengan kata-kata yang lebih indah dan bermakna mendalam mengenai keagungan dan kemuliaan beliau.
وَكُلُّ نبيٍّ خَصَّهُ بفضيلةٍ…وَخَصَّ برؤياهُ النبيَّ محمدَا
فلا عينَ في الدنيا تراهُ لقولِهِ…سوى المصطفى إِذْ كَانَ بِالقُرْبِ أُفْرِدَا
“Setiap nabi memiliki keistimewaan,
Dan Nabi Muhammad diistimewakan dengan penglihatan.
Tidak ada mata di dunia ini yang melihatnya,
kecuali yang terpilih, saat ia ditempatkan di dekat-Nya.”