
MENELITI HIKMAH DI BALIK PERISTIWA ISRA’
Telah diketahui bahwa Nabi Muhamad SAW di isr’okan pada saat malam hari dari Masjid al-Harom menuju Masjid al-Aqsho, sebagaimana yang telah Allah ta’ala firmankan dalam surah al-Isra’ ayat 1. Yang dimaksud dengan Masjid al-Harom adalah Masjid Makah al-Mukarromah. Masjid trersebut adalah masjid yang pertamakali diciptakan di muka bumi, kemudian Masjid al-Aqsho (baitul maqdis)
Pemilihan tempat dan waktu isra bukanlah hanya sebuah kebetulan belaka, namun memiliki hikmah yang sangat mendalam.
HIKMAH ISRA’ MENUJU BAYT AL-MAQDIS
Peristiwa Isra’ Nabi Muhammad SAW menuju Masjid al-Aqsa sebelum Mi’raj ke Sidratul Muntaha merupakan sebuah fenomena yang sarat dengan makna dan hikmah, di antara hikmah yang terkandung dalam peristiwa monumental ini adalah:
- Berdasarkan riwayat dari Ka’b al-Ahbar Bayt al-Maqdis sejajar dengan pintu langit yang merupakan tempat naiknya malaikat, maka sebagian ulama berpendapat bahwa hikmah diisro’kannya baginda Nabi ke Baitul maqdis adalah supaya prose mi’roj terjadi secara rata, tanpa berkelok-kelok.
والحكمة في إسرائه صلى الله عليه وسلم إلى بيت المقدس ليحصل له العروج إلى السماء مستويا من غير تعريج لما روي عن كعب أن باب السماء الذي يقال له: مصعد الملائكة يقابل بيت المقدس قال: وهو أقرب من الأرض إلى السماء بثمانية عشر ميلا.
“Hikmah dibalik isra’nya kanjeng Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Bayt al-Maqdis agar bisa naik ke langit secara rata tanpa terpelintir, didasarkan pada apa yang diriwayatkan Ka’b al-Ahbar, bahwa pintu langit, yang merupakan tempat naiknya Malaikat, menghadap Bayt al-Maqdis. Beliau bersabda: Jaraknya delapan belas mil lebih dekat dari bumi ke surga.[1]”
- Bayt al-Maqdis adalah tempat hijrah kebanyakan para Nabi sebelum beliau, maka perjalanan tersebut supaya mengumpulkan berbagai keutamaan[2].
- Optimisme terhadap terjadinya jenis-jenis penyucian bagi beliau secara hisy dan makna.
- Peristiwa Mi’raj Nabi SAW dari Makkah ke Bayt al-Maqdis berfungsi untuk membuktikan kebenaran kepada para pengingkar, sebab bila Nabi SAW mi’raj dari Makah maka tidak bisa memberikan bantahan kepada para pengingkar.[3]. Perlu diketahui bahwasnya qaum Quraisy dalam setaiap tahunnya melakukan perjalanan dagang dua kali, yaitu pada saat musim panas dan musim dingin. Mereka sering melakukan perjalanan dari Yordania dan Palestina pada musim dingin karena pantai laut terasa lebih hangat. Jika musim panas, mereka meninggalkan jalan musim dingin dan laut sebab panasnya udara, dan mereka pergi ke Yaman[4]. Ketika Nabi menceritakan perjalanannya, mereka bertanya tentang rincian masjid yang telah mereka kenal, dan mereka mengetahui Nabi SAW belum pernah melihatnya sebelumnya. Dan beliau mampu menggambarkan rincian Masjid al-Aqsho, ini membuktikan kepada mereka tentang kebenaran beliau.
HIKMAH ISRA’ TERJADI PADA SAAT MALAM HARI
Isra’ merupakan salah satu peristiwa krusial dalam sejarah Islam yang menggambarkan perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjid al-Haram di Mekkah menuju Masjid al-Aqsa di Yerusalem. Kejadian ini berlangsung pada malam hari, dan pemilihan waktu tersebut mengandung makna yang mendalam, di antaranya adalah:
- Mengukuhkan keistimewaan maqom mahabbah, sebab Allah ta’ala memilih Nabi sebagai Habib dan Malam hari adalah waktu yang paling istimewa bagi sepasang kekasih untuk berkumpul dan menikmati kebersamaan, di mana momen berduaan dengan sang kekasih dapat terwujud dengan sempurna[5].
- Untuk meningkatkan iman orang-orang mukmin terhadap hal-hal yang ghaib, sekaligus menambah tantangan bagi orang-orang kafir. Namun, bila terjadi siang maka orang mukmin tidak akan mendapatkan keutamaan iman pada suatu yang ghaib, dan tidak akan terjadi fitnah bagi orang-orang yang inkar dan celaka.
- Malam hari adalah waktu untuk bersungguh-sungguh dalam ibadah. Pada waktu inibeliau sholat sampai kakinya bengkak. Sholat malam bagi beliau adalah suatu yang wajib, maka sebab itu beliau diberi kemulian dengan di isro’kan pada malam hari.
- Mengingatkan bahwa malam hari adalah waktu yang dipenuhi dengan rahmat, di mana pahala dilipatgandakan dan doa cepat dikabulkan[6].
- Malam adalah waktu yang mulia, ditandai oleh berbagai peristiwa penting, termasuk kisah Nabi Ibrahim yang awalnya menganggap bintang-bintang sebagai Tuhan, tetapi kemudian menyadari bahwa mereka bukan Tuhan karena menghilang. Kisah ini tercantum dalam Surat Al-An’am ayat 76.
Artinya: “Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata, “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam. (QS. Al-An’am: 76).
HIKMAH NABI HANYA MENCERITKAN PERISTWA ISRA’
Di samping luar biasanya peristwa isra mi’raj, ada suatu yang menarik, yaitu setelah baginda Nabi SAW mengalami kejadian tersebut beliau tidak langsung menceritkan isra’ dan mi’raj, tetapi hanya menceritakan isra’.
Baginda Nabi SAW tidak segera menceritakan peristiwa Mi’raj karena khawatir kaum Quraisy yang kafir akan sangat menolak dan mengingkari beliau. Peristiwa Mi’raj merupakan pengalaman luar biasa yang sulit diterima bagi mereka, karena peristiwa ini diluar kebiasaan, terutama bagi mereka yang skeptis. Bagaimana mungkin seorang manusia tanpa sayap dapat terbang, apalagi menuju Sidratul Muntaha? Bahkan burung yang memiliki sayap pun hanya mampu terbang beberapa meter dari permukaan tanah, sehingga peristiwa ini akan dianggap mustahil oleh mereka.
Agar orang-orang Quraisy dapat mempercayai peristiwa Mi’raj yang luar biasa, diperlukan suatu pendekatan yang dapat mendasarinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW memilih untuk menceritakan peristiwa Isra’ terlebih dahulu sebagai fondasi untuk Mi’raj. Setelah peristiwa Isra’ diterima oleh kaum Quraisy, barulah beliau mengungkapkan pengalaman Mi’raj[7].
[1] Nawawi al-Bantani, Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na al-Quran al-majid (Maktabah Shamela) juz 1, 614.
[2] Jalaludin al-Suyuthi, al-Ayatul Kubra fi Syarhi Qishoh al-Mi’raj (Jami’ al-Kutub al-Islamiyah) juz 1, 25.
[3] Nawawi al-Bantani, Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na al-Quran al-majid (Maktabah Shamela) juz 1, 614.
[4] Muqotil bin Sulaiman, Tafsir Muqotil bin Sulaiman (Maktabah shamela) Juz 4, 860
[5] al-Zarqoni, Syarah al-Zarqoni ‘ala al-Mawahib al-Laduniyah li al-Qosthalani (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996) juz 8, 15.
[6] Muhammad al-Sholihi al-Syami, Subulu al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khori al-Ibad (Maktabah Shamela) juz 3, 14
[7] Usman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khubawiyi, Durrah al-Nashin fi al-Wa’dzi wa al-Irsyadi (Surabaya: Maktabah Imarotullah, tt) 91.



