APAKAH ALLAH BERTEMPAT?
Peristiwa Isra dan Mi’raj merupakan salah satu momen paling agung dan monumental dalam sejarah Islam, yang terjadi pada malam yang penuh berkah. Dalam perjalanan yang luar biasa ini, Nabi Muhammad SAW diangkat dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan ke langit yang lebih tinggi. Selama perjalanan ini, beliau tidak hanya menyaksikan keindahan dan kebesaran ciptaan Allah, tetapi juga berinteraksi dengan para nabi dan menerima wahyu langsung dari Allah SWT. Setelah tiba di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad SAW melanjutkan perjalanan ke langit, di mana beliau melewati tujuh lapisan langit. Di setiap lapisan, beliau bertemu dengan para nabi yang sebelumnya diutus oleh Allah, seperti Nabi Adam, Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi Ibrahim. Setiap pertemuan ini menegaskan hubungan yang erat antara para nabi dan menunjukkan kesinambungan ajaran Allah sepanjang sejarah.
Puncak dari perjalanan ini adalah ketika Nabi Muhammad SAW diangkat ke Sidratul Muntaha, tempat yang sangat tinggi di mana beliau berjumpa dengan Dzat Allah. Dalam pertemuan yang agung ini, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu mengenai kewajiban shalat, yang menjadi salah satu tiang utama dalam ajaran Islam. Namun, pertemuan ini juga menimbulkan pertanyaan penting mengenai sifat Allah, khususnya mengenai apakah Allah bertempat atau tidak. Dalam konteks ini, banyak kelompok di luar Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mengklaim bahwa Allah bersemayam di ‘arsy, yang sering kali disalahartikan dalam terjemahan Al-Qur’an. Pemahaman ini dapat menimbulkan kesalahpahaman bahwa Allah terikat oleh ruang atau tempat tertentu.
Kesalahpahaman dalam pembahasan kita ini bermula dari kesalahan memaknai lafadz “istiwa’” ayat al-Qur’an:
الرحمن على العرش استوى
(Dialah Allah) Yang Maha Pengasih (dan) bersemayam di atas ʻArasy” (Qs. Thaha–ayat 5)
Menyikapi orang-orang yang awam terkait ilmu tauhid, kita harus memakai pendekatan logika yang gampang dipaham. Mulanya, kita harus tekankan terlebih dahulu makna istiwa’ yang disepakati oleh ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Kemudian, kita akan merunut kesalahan golongan yang menyatakan” Allah bersemayam dalam ‘arsy”. Dalam konteks ini, penafsiran “istiwa” sebagai “bersemayam” merupakan pandangan yang dipegang oleh sebagian golongan diluar ahlussunah waljama’ah, dan mereka cenderung tidak menta’wilkannya dengan makna lain, mereka bilang untuk menjaga kesesuaian dengan konsep keesaan dan kemahakuasaan Allah.
Perlu digaris bawahi bahwa Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa mungkin bila Allah duduk di atas ‘arsy.
فإذا عرف أن ما وصفت به الملائكة وأرواح الآدميين من جنس الحركة والصعود والنزول وغير ذلك لا يماثل حركة أجسام الآدميين كان ما يوصف به الرب من ذلك أولى بالإمكان
Artinya, “Sudah diketahui bahwa sifat malaikat dan ruh manusia berupa bergerak, naik, turun dan sejenisnya tidaklah sama dengan sifat manusia. Begitu juga, sifat Allah yang demikian, (duduk, naik, turun dan sejenisnya) lebih pantas untuk mungkin terjadi”.[1]
Mengapa ulama Ahlu Sunnah menolak pendapat Ibnu Taimiyyah yang menyatakan Allah bersemayam di ‘arsy? Berikut sebagian argumentasi ulama Ahlussunnah;
Pertama, Ulama salaf memaknai istiwa’ dengan makna memiliki dan menguasai (istiila’) Sebagaimana yang dikutip dalam kitab Hasyiah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain oleh Syekh Muhammad al-Shawi:
قوله: (أي استواء يليق به) هذا إشارة لمذهب السلف وهم من كانوا قبل الخمسمائة، ومذهب الخلف تفسير الاستواء بالاستيلاء عليه والتصرف فيه، وهو أحد معاني الاستواء، واستدلوا لذلك بقول الشاعر:
قد استوى بشر على العراق … من غير سيف ودم مهراق
merujuk pada mazhab salaf, yaitu mereka yang hidup sebelum tahun lima ratus. Sedangkan mazhab khalaf menafsirkan ‘istiwa’ sebagai menguasai dan memiliki, yang merupakan salah satu makna dari ‘istiwa’. Mereka mendasarkan diri pada ungkapan seorang penyair: “Tanpa pedang dan darah yang tertumpah, telah berdiri (berkuasa) Bashar di atas Irak.” [2]
Kalimat ini mengacu pada perbedaan pandangan antara para ulama salaf dan khalaf dalam memahami sifat “istiwā” (استواء) Allah pada ‘Arsy-Nya. Perbedaan ini muncul karena pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah.
Mazhab salaf (yang mengikuti ajaran generasi awal umat Islam hingga sekitar 500 H) berpegang pada makna “istiwā” yang sesuai dengan kebesaran Allah, tanpa mengingkari atau menanyakan bagaimana cara Allah itu “beristiwa” bertempat di atas ‘Arsy Mereka meyakini bahwa “istiwā” itu adalah sesuatu yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah, tetapi cara atau hakekatnya adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa dipahami sepenuhnya oleh akal manusia.
mayoritas ulama salaf menyatakan hanya Allah yang mengetahui maksud dari istiwa’ pada ‘arsy dan ini disebut dengan istilah tafwidh. Sebagaimana Syekh Jalaluddin as-Suyuthi mengatakan:
وجمهور أهل السنة منهم السلف وأهل الحديث على الإيمان بها وتفويض معناها المراد منها إلى الله تعالى ولا نفسرها مع تنزيهنا له عن حقيقتها
Artinya, “Mayoritas ulama Ahlussunnah mengimani serta menyerahkan makna istiwa yang dikehendaki Allah kepada Allah dan kami tidak berani menafsirkan maksud dari istiwa’serta kami mensucikan Allah dari hakikat istiwa”.[3]
Mazhab khalaf (yang berkembang setelah zaman salaf) mencoba memberikan penafsiran yang lebih rinci tentang “istiwā”. Mereka menafsirkannya dengan makna “menguasai” atau ” memiliki ” atas ‘Arsy, yaitu Allah menguasai alam semesta dengan kekuasaan-Nya. Penafsiran ini didasarkan pada pemahaman bahwa kata “istiwā” bisa memiliki makna “menguasai” dalam bahasa Arab.
Untuk mendukung pandangan ini, mereka mengutip sebuah syair yang mengatakan: “قد استوى بشر على العراق” (Bashar telah beristiwa di atas Irak). yang artinya, seseorang (Bashar) telah menguasai atau memerintah wilayah Irak tanpa menggunakan pedang atau darah yang tertumpah. Dalam hal ini, kata “استوى” digunakan untuk menunjukkan kekuasaan atau penguasaan terhadap suatu wilayah, bukan berarti secara fisik “bertempat” di situ.
Secara singkat, inti dari perbedaan ini adalah bagaimana cara memahami “istiwā”: apakah sebagai suatu tindakan yang sesuai dengan keagungan Allah tanpa menjelaskan bagaimana cara-Nya, atau sebagai penguasaan dan kekuasaan-Nya atas alam semesta. Dalam konteks ini, “takwil” dalam ajaran Ahlussunnah wal Jamaah bukanlah istilah untuk mengubah makna secara bebas atau untuk memberikan interpretasi yang ekstrem. Sebaliknya, takwil lebih dipahami sebagai upaya untuk memahami dan menjelaskan makna yang sebenarnya dari teks-teks suci dengan cara yang akurat dan kontekstual.
Dengan demikian, takwil bertujuan untuk menjaga kesesuaian antara pemahaman kita terhadap sifat-sifat Allah dan keagungan-Nya, tanpa mengurangi atau menafikan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Pendekatan ini mencerminkan komitmen Ahlussunnah wal Jamaah untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip iman yang benar, sambil tetap menghormati keterbatasan akal manusia dalam memahami Dzat yang Maha Agung. Dengan cara ini, umat Islam diharapkan dapat menghindari kesalahpahaman dan penafsiran yang menyimpang, serta tetap berada dalam koridor ajaran yang benar.
Apa itu Takwil dalam pengertiannya?
Arti Takwil menurut bahasa adalah menerangkan dan menjelaskan kata takwil diambil dari kata awwala-yu’awwilu’-ta’wilan. Al-Qattan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa Alquran menurut bahasa adalah ar-ruju ila al-asl (berarti kembali pada pokoknya). Adapun arti bahasanya menurut Az-Zarqani adalah sama dengan arti tafsir
Adapun pengertian takwil menurut istilah, para ulama menyebutkan sebagai berikut.
صرف اللفظ عن معناه الظاهر إلى معناه يحتمله إذا كان المحتمل الذي يراه موافقا بالكتاب والسنة
“Memalingkan satu Lafadz dari makna zahirnya ini terhadap makna (batin) yang dikandungnya, apabila makna alternatif tersebut dipandang sesuai dengan ketentuan Al-Kitab dan As-Sunnah”.[4]
Ringkasannya pengertian takwil secara istilah adalah usaha untuk memahami lafadz-lafadz (ayat-ayat) al-quran melalui penggalian terhadap selain makna lahirnya yang dikandung lafadz-lafadz tersebut. Dengan kata lain takwil berarti mengartikan lafaz dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahirnya.
Kedua, seandainya istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy niscaya zat Allah dapat diukur besarnya sesuai dengan besarnya ‘arsy. Sebagaimana misal seorang siswa yang duduk diatas kursi niscaya ada kemungkinan sang siswa lebih kecil dari ukuran kursi atau lebih besar. Begitu juga, Allah dapat diukur dengan kemungkinan lebih besar dari ‘arsy atau lebih kecil dari ‘arsy. Ini tentu mustahil, bagaimana mungkin Allah zat yang Maha Besar dapat diukur dengan ‘arsy yang merupakan ciptaan-Nya?
Ketiga, seandainya istiwa’ bermakna Allah menetap pada ‘arsy niscaya zat Allah dapat diukur di mana letaknya. Sebagaimana seorang siswa menetap di sebuah kelas, niscaya dapat diperkirakan sang siswa berada di tempat tertentu misal di sisi selatan atau utara kelas. Begitu juga, seandainya Allah menetap di ‘Arsy maka ada kemungkinan Allah berada di tempat tertentu misal di sisi utara atau selatan ‘arsy. Ini tentu mustahil karena bila Allah menetap di tempat tertentu pada ‘arsy niscaya akan ada ketimpangan keadaan pada bagian ‘arsy yang lain.
Keempat, seandainya istiwa’ bermakna Allah menetap pada ‘arsy niscaya mungkin dipahami Allah membutuhkan ‘arsy sebagai tempat menetap. Begitu juga, ‘arsy membutuhkan Allah agar tetap lestari. Hal ini tentu mustahil, bagaimana mungkin Allah dzat Yang Maha Besar membutuhkan kepada ‘arsy yang merupakan ciptaan-Nya?
Syekh Ibrahim Al-Baijuri dalam karyanya, “Risalah Al-Baijuri,” menjelaskan:
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْقِيَامُ بِالنَّفْسِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لاَيَفْتَقِرُ اِلى مَحَلٍ وَلاَاِلى مَخَصِّصٍ وَضِدُّهُ اَلإِحْتِيَاجُ اِلى الْمَحَلِ وَالمَخَصِّصِ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ احْتَـاجَ اِلى مَحَلٍ لَكَانَ صِفَةً وَكَونُهُ صِفَة مُحَال وَلَوْ احْتَـاجَ اِلى مَخَصِّصٍ لَكَانَ حَادِثًـا وَكَونُهُ حَادِثًـا مُحَالٌ
Allah Maha Kaya dengan Dzat-Nya, tidak terikat pada Dzat, dan tidak membutuhkan sesuatu untuk menciptakan-Nya. Mustahil bagi-Nya membutuhkan Dzat atau sesuatu yang menciptakan-Nya. Dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan Dzat adalah jika Allah membutuhkan Dzat pasti sifat. jika allah sifat itu mustahil, karena sifat tidak menerima penyifatan oleh sifat ma’ani dan ma’nawiyah. Jika sifat disifatkan oleh sifat ma’ani dan ma’nawiyah, pasti akan terjadi daur atau tasalsul yang mustahil. [5]
Kelima, seandainya istiwa’ bermakna Allah duduk di atas ‘arsy niscaya akan serupa dengan makhluk-Nya yang melakukan duduk, berdiri dan sejenisnya. Padahal Allah tidak dapat diserupakan dengan makhlukNya secara mutlak. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab teologi yang ditulis oleh Syekh Ibrahim al-Baijuri.
وَيَجِبُ فِى حَقِهِ تَعَالى اَلْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ وَمَعْـنَاهُ أَنَّـهُ تَعَالى لَيْسَ مُمَـاثِلاً لِلْحَوَادِثِ فَلَيْسَ لَهُ يَدٌ وَلاَ عَيْنٌ وَلاَ أُذُنٌ وَلاَ غَيْرُ ذَلِكَ مِنْ صِفَـاتِ الْحَوَادِثِ وَضِدُّهَا الْمُمَاثَلَةُ وَالدَّلِيْلُ عَلى ذلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ مُمَاثِلاً لِلْحَوَادِثِ لَكَانَ حَادِثًا وَهُوَ مُحَالٌ
Wajib pada Allah s.w.t., sifat Mukhālafatu lil-Ḥawādits (berbeda dengan makhluk). Artinya, sesungguhnya Allah s.w.t. tidak menyerupai kepada segala hal yang bersifat baru (makhluk). Maka, Allah tidak memiliki tangan, tidak memiliki mata, tidak memiliki telinga dan tidak pula memiliki yang lainnya dari sifat-sifat makhluk. Kebalikannya adalah sifat al-Mumātsalah(menyerupai). Dalil bahwasanya Allah s.w.t. tidak menyerupai makhluk adalah: seandainya Allah memiliki keserupaan dengan makhluk, maka tentunya Allah adalah sesuatu yang baru. Dan hal itu tidak bisa diterima akal (mustaḥīl). [6]
Melalui pembahasan ini, kita akan merangkum argumen-argumen yang mendasari penolakan terhadap pemahaman bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy, serta menegaskan bahwa Allah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, kita diharapkan dapat memahami akidah Ahlussunnah wal Jama’ah secara lebih mendalam, serta menghindari kesalahpahaman yang dapat menyesatkan dalam memahami Dzat yang Maha Agung. Kesimpulan dari pembahasan ini akan memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana seharusnya kita memahami sifat-sifat Allah dalam konteks yang benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
- Pemahaman “Istiwa”: Terdapat perbedaan pandangan antara ulama salaf dan khalaf dalam memahami lafadz “istiwa” dalam konteks ayat Al-Qur’an. Ulama salaf cenderung memahami “istiwa” sebagai sesuatu yang sesuai dengan kebesaran Allah tanpa menjelaskan bagaimana cara-Nya, sedangkan ulama khalaf menafsirkannya sebagai penguasaan atau kekuasaan Allah atas ‘Arsy.
- Takwil: Takwil dalam konteks ini adalah usaha untuk memahami makna lafaz-lafaz Al-Qur’an dengan menggali makna yang lebih dalam, bukan sekadar makna lahiriah. Takwil bertujuan untuk menjaga kesesuaian antara pemahaman kita terhadap sifat-sifat Allah dan keagungan-Nya, serta menghindari penafsiran yang dapat menyesatkan. Dalam hal ini, takwil bukanlah upaya untuk mengubah makna, tetapi untuk memahami makna yang sesuai dengan prinsip-prinsip akidah yang benar
- Perbedaan dengan Ibnu Taimiyyah: Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa Allah dapat dianggap “duduk” di atas ‘Arsy, yang mengimplikasikan bahwa Allah memiliki sifat fisik yang dapat diukur. Pandangan ini ditolak oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, yang berargumen bahwa jika “istiwa” dimaknai sebagai bersemayam, maka Allah akan terikat oleh ruang dan waktu, yang bertentangan dengan sifat-Nya yang Maha Esa dan tidak terikat oleh ciptaan-Nya.
Argumentasi Penolakan terhadap Pemahaman “Istiwa” sebagai Bersemayam:
- Keterikatan pada Tempat: Pemahaman bahwa Allah menetap di ‘Arsy mengimplikasikan bahwa Allah terikat pada ruang, yang mustahil bagi Dzat yang Maha Agung.
- Perbedaan dengan Makhluk: Allah berbeda dengan makhluk, pun sebaliknya makhluk berbeda dengan allah. Jika “istiwa” diartikan sebagai tindakan fisik, maka hal ini akan menyerupai sifat makhluk, yang bertentangan dengan prinsip akidah bahwa Allah tidak menyerupai apapun dari ciptaan-Nya (mukhālafatu lil-ḥawādits).
- Allah SWT adalah Dzat yang Maha Kaya (Al-Ghani) dengan Dzat-Nya sendiri. Ini berarti bahwa Allah tidak memerlukan apapun. Sifat ini menunjukkan bahwa Allah tidak terikat oleh ruang, waktu, atau makhluk lainnya.
- Daur (siklus) dan tasalsul (rantai yang tidak berujung) adalah konsep yang menunjukkan bahwa jika satu sifat memerlukan sifat lain untuk menjelaskan dirinya, maka akan ada ketidakpastian dan ketidakjelasan dalam memahami Dzat Allah. Dalam akidah Islam, Allah adalah Dzat yang Maha Sempurna, dan tidak ada yang dapat membatasi atau menjelaskan-Nya dengan cara yang sama seperti makhluk.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai peristiwa Isra dan Mi’raj serta pemahaman sifat “istiwa” Allah menegaskan bahwa “istiwa” adalah sesuatu yang sesuai dengan kebesaran Allah dan tidak dapat dipahami sebagai bersemayam di ‘Arsy. Pemahaman ini didasarkan pada argumen bahwa Allah tidak terikat oleh ruang dan waktu, Allah berbeda dengan makhluk, pun sebaliknya makhluk berbeda dengan allah. Dengan memahami akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, kita diharapkan dapat menghindari kesalahpahaman dan tetap berada dalam koridor ajaran Islam yang benar.
[1] (Ibnu Taimiyah, Majmu Al Fatawi, [Riyad, Maktabah al-Malik Fahd: 2018 M], juz V, halaman 527)
[2] Hasyiah al-Sawawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, oleh Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, [Kairo, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: 2018 M], juz I, halaman 1331).
[3] (As-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, [Kairo, Hai’ah al-Mishriyyah lil Kutub: 2011 M], juz III, halaman 15).
[4] Al-Jurjani. At-Ta’rifat.Hlm.63.
[5] Al-Baijuri, Ibrahim, Risalah Syekh Ibrahim Al-Baijuri (Surabaya: Darul Ilmi), hlm 4.
[6] Al-Baijuri, Ibrahim, Risalah Syekh Ibrahim Al-Baijuri (Surabaya: Darul Ilmi), hlm 5.