

Ucapan Imam Syafi’i “ اذا صح الحديث فهو مذهبي “ ini sudah sangat masyhur di kalangan ahli ilmu, namun masih banyak yang salah faham terhadap maknanya. Banyak kalangan yang dengan mudahnya menyatakan bahwa pendapat Imam Syafi’i hanya dapat diamalkan bila sesuai dengan hadits shahih, sehingga saat ia menemukan satu hadits shahih maka ia langsung berpegang kepada dzhahir hadits dan melarang mengikuti pendapat Imam Syafii dengan alasan mengamalkan ucapan beliau. Bahkan, mereka menjadikan qoul Imam Syafii ini sebagai hujjah tercelanya taqlid, mereka mengartikan ucapan ini sebagai larangan dari Imam Syafii untuk taqlid kepada beliau.
Para ulama sepakat bahwa ucapan tersebut benar-benar datang dari Imam Syafi’i, adapun tentang redaksinya ada beberapa riwayat yang berbeda namun memiliki maksud yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya maskud perkataan Imam Syafii ini? Apakah setiap orang yang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i maka pendapat Imam Syafi’i tidak dapat di terima?. Kalau hanya semudah itu tentu akan menjadi tanda tanya sejauh mana keilmuan Imam Syafi’i, terutama dalam penguasaan ilmu hadits.
Tentang wawasan Imam Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ahmad bin Hanbal mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari, Abu Ayub Hamid bin Ahmad Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah, tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam masalah ini.”
(Ma’na Qoul Imam Al-Mutholibi Hal.87)
Dalam kitab Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Imam Nawawi memberi komentar terhadap ucapan Imam Syafi’i tersebut. Imam Nawawi mengatakan : “Bukanlah maksud dari ucapan Imam Syafi’i ini adalah setiap orang yang melihat hadits yang shahih maka ia langsung berkata inilah madzhab Syafi’i dan langsung mengamalkan dzhahir hadits. Perkataan ini hanya di tujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam madzhab sebagaimana telah terdahulu dijelaskan kriteria sifat mujtahid atau yang mendekatinya. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan ucapan Imam Syafii tersebut adalah telah kuat dugaannya bahwa Imam Syafii tidak mengetahui hadits tersebut atau tidak mengetahui kesahihan haditsnya. Hal ini hanya didapatkan setelah menelaah semua kitab Imam Syafii dan kitab-kitab pengikut beliau yang mengambil ilmu dari beliau. Syarat ini sangat sulit di penuhi dan sedikit sekali orang yang memilikinya. Para ulama mensyaratkan demikian karena Imam Syafii meninggalkan perbuatan yang sesuai makna nyata dari banyak hadits yang beliau temukan dan beliau ketahui namun itu karena ada dalil yang menunjukkan cacatnya hadits itu atau hadits itu telah di nasakh, di takhshish, atau di ta’wil atau lain semacamnya”.
Maka dari komentar Imam Nawawi, sebenarnya sudah jelas bahwa perkataan Imam Syafi’i ini hanya untuk orang-orang yang sudah mencapai derajat mujtahid madzhab, yang menurut Imam Nawawi pun sudah sulit di temukan.
Syekh Abu Amr Ibn Shalah berkata, “Tugas ini tidak mudah. Tidak semua faqih boleh mengamalkan hadits yang dinilainya boleh dijadikan hujjah.” (Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Imam Nawawi).
Perkataan keduanya (Imam Ibn Shalah dan Imam Nawawi) bukan berarti penolakan terhadap ucapan Imam Syafi’i sendiri, dan bukan pula ucapan ini merupakan suatu kelebihan yang bisa membedakan Imam Syafi’i dengan ulama lainnya, tapi ini merupakan penerangan bagi sulitnya kedudukan tersebut sehingga tidak ada orang yang tertipu dengannya.
Dalam hal ini, ada beberapa ulama yang berusaha mengamalkan ucapan Imam Syafi’i tersebut seperti Abu Walid bin Ibn Al-jarud dan Abu Walid Hasan bin Muhammad An-Naisaburi ketika mengamalkan hadits “Orang yang berbekam dan yang di bekam batal puasanya“. dan meninggalkan madzhab Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh.
Kemudian diceritakan juga Muhammad bin ‘Abd Al-Malik Al Karaji yang meninggalkan qunut dengan alasan hadits bahwa Nabi saw meninggalkan qunut di shalat shubuh. Dan ini shahih menurutnya. Imam Taqiyuddin Assubki berkata setelah aku membaca kisah ini, aku meninggalkan qunut di shalat shubuh beberapa lama. Kemudian aku melihat bahwa qunut yang ditinggal Nabi saw adalah do’a untuk kabilah Ri’li dan Dzakwan, juga bukan di shalat shubuh. Adapun untuk masalah meninggalkan doa secara mutlaq setelah berdiri di shalat shubuh ada hadist dari Isa bin Mahan. Mengenai hadist ini terdapat perbincangan yang cukup Panjang, sekarang bukan waktu untuk menguraikannya, kata beliau (Taqiyuddin As-Subki). Lalu beliau Kembali melaksanakan qunut.
Dari penjelasan di atas maka dapat di simpulkan bahwa setiap hadits shahih dari Nabi SAW yang berisi tentang hukum, dan pendapat Imam Syafi’i berbeda dengan hadits tersebut, maka itu kondisinya ada dua macam. Pertama, Imam Syafii tidak tahu kesahihan hadits tersebut. Maka ini hukumnya seperti yang diucapkan beliau yaitu menerima hadits itu sebagai madzhabnya. Kedua, Imam Syafii mengetahui keshahihan hadits tersebut namun ia menta’wilnya. Maka jika seperti ini harus diperhatikan ucapannya, Jika ucapan itu jelas dan kuat alasannya maka kita harus berpegang pada pendapat Imam Syafi’i, juga hadits tersebut harus di tafsirkan sesuai dengan penafsirannya. Seperti hukum membaca basmalah di dalam shalat dan penafsirannya terhadap hadits Anas yang sangat jelas menafikannya.
Persoalan ini memang tidak mudah. Hal ini perlu disampaikan agar tidak ada orang yang mudah menghakimi orang lain yang amaliyahnya berbeda, apalagi sekelas Imam Syafi’i dan pengikutnya. Apa yang diputuskan oleh Imam Syafii bukanlah keputusan sembarangan dan bukan sembarang orang pula yang bisa meralat keputusan beliau.
Ayu Nurul Fauziah